
Ia mempertanyakan mengapa tokoh muda, pelaku UMKM perempuan, atau warga lain yang memiliki kapasitas, tidak diberi kesempatan untuk memimpin koperasi.
“Apakah hanya satu orang yang dianggap mumpuni di desa ini? Dimana semangat pemberdayaannya? Kalau semua dipegang satu orang, itu bukan memberdayakan, tapi memusatkan kekuasaan,” tambahnya tajam.
Kebijakan ini dinilai bertolak belakang dengan semangat Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014, yang menekankan pentingnya transparansi, partisipasi, dan keadilan sosial dalam tata kelola pemerintahan desa.
Ageu berharap agar pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) segera melakukan evaluasi terhadap keputusan tersebut untuk menjaga marwah desa sebagai ruang yang terbuka dan inklusif bagi seluruh warganya.