
Padahal, salah satu sekolah tersebut dulunya mampu mengelola hingga 10 kelas. Kini, kata Agus, jumlah siswa aktif dari kelas X hingga XII tinggal 36 orang.
“Dengan jumlah siswa yang sangat sedikit, kami kesulitan menggaji guru dan staf. Ini ancaman serius bagi keberlangsungan sekolah swasta,” tuturnya.
Agus juga mengkritisi kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang mengizinkan sekolah negeri menerima hingga 50 siswa per kelas. Ia menilai aturan tersebut makin memperkecil ruang gerak sekolah swasta di daerah.
“Jika tidak ada pembatasan rombel di sekolah negeri, maka sekolah swasta akan terus tersisih. Kami juga ikut mencerdaskan bangsa. Pemerintah seharusnya memberi perhatian yang setara,” ujar Agus.
Kondisi ini menjadi peringatan dini atas pentingnya penataan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan, agar pendidikan swasta tak terus-menerus tertinggal dalam kompetisi yang tak seimbang.(*)







