
“Hanya segelintir orang tua yang masih bisa memainkan alat musiknya. Kalau tidak dilestarikan, Domyak tinggal sejarah,” tuturnya.
Salah satu ciri khas dari Domyak adalah ngibakan ucing (ritual memandikan kucing). Prosesi ini dimulai dengan arak-arakan kucing yang dimasukkan ke dalam dongdang ucing (kurungan bambu), diiringi tetabuhan seperti angklung, dogdog, kendang, goong, dan bedug. Arak-arakan ini menuju sumber mata air, tempat digelarnya ritual pemanggilan hujan.
Ritual diawali dengan mupuhun, semacam upacara meminta izin kepada alam dan Tuhan, dipimpin oleh Pangasuh atau pemuka adat. Setelah doa-doa dilantunkan, seekor kucing disiram air sebagai simbol penyucian.
“Kucing itu dimandikan bukan karena kotor, tapi sebagai pengingat bahwa manusialah yang harus rajin membersihkan diri,” ujar Yosi.
Domyak bukan sekadar seni pertunjukan, ia adalah cermin cara masyarakat berinteraksi dengan alam, menjaga keseimbangan, dan menyampaikan harapan dalam bentuk yang indah. Namun, sejak wafatnya tokoh kunci seperti Abah Jumanta, gaung Domyak kian meredup.