
Tak jarang, para relawan yang hendak mengantar bantuan ke lokasi terisolir tersebut menemui kendala di lapangan karena medan yang sulit.
Beberapa waktu lalu tim distribusi bantuan ada yang terperosok, motor dan pengemudinya terjatuh ketika melewati sebuah jembatan minimalis menuju lokasi pengungsi yang terisolir.
Melihat fenomena ini, kami beranggapan para korban yang sudah menderita akibat bencana alam yang melanda, berpotensi bertambah kesengsaraannya, karena harus hidup berhari hari di camp pengungsi yang dari segi fasilitas baik MCK dan kenyamanan tentu jauh dari kelayakan, kesehatan mereka terancam. Yang paling kasihan adalah anak anak dari para pengungsi.
Potret penderitaan ini masih berlanjut, ketika para relawan penyalur bantuan , terutama yang ke pelosok pelosok berpotensi mengalami kecelakaan karena akses jalan yang rawan
Artinya dari suatu peristiwa bencana yang sudah jelas jelas memakan korban jiwa dan penderitaan lainnya malah berpotensi menambah daftar korban baru lainnya, yaitu terancamnya keselamatan para relawan yang bertaruh nyawa ketika melaksanakan misi kemanusiaan.
Pada akhirnya seperti melahirkan “Bencana yang tak berkesudahan” .
Untuk itu kami merekomendasikan agar pola penanganan kebencanaan di masa depan, tidak hanya untuk yang di Cianjur tapi juga untuk kepentingan penanganan kebencanaan skala nasional, diharapkan ada upaya upaya ekstra / terobosan dalam proses evakuasi warga terdampak bencana salah satunya dengan berkolaborasi dengan kelompok warga negara yang memiliki infrastruktur akomodasi, misal dalam hal ini dengan asosiasi PHRI, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia.
Negara dengan kewibawaan yang dimilikinya, kiranya bisa merangkul kalangan para pemilik jaringan Hotel ini, anggap lah ini dedikasi ekstra dari para pemilik hotel ini sebagai bagian dari CSR (Corporate Social Responsibility) dan semangat Nasionalisme mereka.