Purwakarta Update | Oleh: Widdy Apriandi (Penulis adalah Analis Kebijakan LSPP Sekaligus Mahasiswa Pasca Sarjana IPB)
Belakangan, melalui channel youtube-nya, Dedi Mulyadi (anggota DPR-RI Dapil VII) kerap menampilkan aksi gruduk lokasi (bisnis) galian bermasalah. Persoalan-persoalan mendasar telak terangkat ke permukaan. Sebut saja, mulai dari bisnis ‘bodong’ (baca: tanpa izin), kerusakan lingkungan, hingga perkara manajemen ketenaga-kerjaan yang terkesan tidak manusiawi.
Terlepas dari kebisingan publik soal narasi pencitraan personal, kemudian simplifikasi berbunyi “ah! demi konten”, harus diakui bersama bahwa ada problematika krusial disitu. Yaitu: dimana keberadaan anggota DPRD kita? Bukankah DPRD punya peran pengawasan (monitoring) yang mestinya dilakukan?
Perda 11/2012 Tentang RTRW Tanpa Pengendalian
Anggap saja ini sekadar asumsi kasar; bahwa aksi gruduk galian oleh Dedi Mulyadi diwaktu yang sama mengkonfirmasi ketiadaan peran pengendalian anggota DPRD terhadap pemanfaatan ruang di Purwakarta. Padahal, jelas adanya, Perda 11/2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mengamanatkan kerja-kerja pengendalian kepada anggota DPRD.
Singkat kata, pemanfaatan ruang di Kabupaten Purwakarta, entah itu untuk kepentingan bisnis, sosial dan lain-lain mestinya diikuti dengan kerja pengendalian. Sebab, tanpa itu, sangat mungkin ruang-ruang di Purwakarta di-eksploitasi sedemikian rupa tanpa umpan balik (feed back) yang sepadan terhadap kesejahteraan publik. Lalu, bukan mustahil pula, pemanfaatan ruang justru berbuah kerusakan lingkungan yang tak terkira. Menyebabkan kehancuran ekosistem. Bahkan, mengancam nyawa manusia~baik secara langsung maupun tidak.
Sehingga, absennya anggota DPRD Purwakarta dalam hal ini sesungguhnya adalah perkara serius. Publik berhak bertanya soal komitmen kerja mereka. Termasuk, dalam perspektif tertentu, berhak juga menuntut terkait kelalaian para anggota DPRD Purwakarta terhadap pengendalian pemanfaatan ruang.